
Penulis : MUHAMMAD ASHARI PANAHATAN (OPS UPT SD NEGERI 17 SIMPANG GAMBUS)
ABSTRAK
Karya tulis ini mengkaji fenomena keterlibatan guru, khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN), dalam dinamika politik praktis di Indonesia. Meskipun secara etika profesi dan regulasi dituntut untuk netral, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru ASN turut serta dalam kegiatan politik, seringkali dengan motif menjaga atau bahkan meningkatkan kedudukan dan jabatan mereka. Keterlibatan ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap independensi pendidikan, objektivitas proses pembelajaran, serta integritas profesi guru. Tulisan ini menganalisis faktor-faktor pendorong keterlibatan politik guru, dampak negatifnya terhadap kualitas pendidikan dan demokrasi, serta urgensi untuk memperkuat netralitas guru demi terwujudnya sistem pendidikan yang berintegritas dan profesional.
PENDAHULUAN
Profesi guru memegang peranan sentral dalam pembangunan bangsa melalui pendidikan. Guru adalah garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi penerus. Oleh karena itu, integritas, profesionalisme, dan netralitas guru menjadi prasyarat mutlak untuk terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Namun, dalam konteks politik di Indonesia, muncul sebuah paradoks yang mengkhawatirkan: semakin sering guru, terutama yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), terlibat dalam pusaran politik praktis. Keterlibatan ini seringkali bukan dilandasi oleh idealisme politik murni, melainkan lebih pada upaya untuk menjaga stabilitas kedudukan atau bahkan meraih jenjang jabatan yang lebih tinggi.
Fenomena ini mencoreng citra profesi guru yang seharusnya bebas dari intervensi politik dan berfokus pada tugas mulianya. Ketika guru menjadi alat atau kendaraan politik kekuasaan, independensi institusi pendidikan terancam, dan proses pembelajaran berpotensi disusupi kepentingan-kepentingan non-edukatif. Ironisnya, keterlibatan ini seringkali terjadi di bawah tekanan, baik langsung maupun tidak langsung, dari pihak-pihak berkuasa, atau karena dorongan individu untuk mencari "keamanan" dalam karier. Karya tulis ini bertujuan untuk membedah akar permasalahan keterlibatan guru dalam politik praktis, menyoroti implikasinya terhadap dunia pendidikan, dan menawarkan gagasan untuk mengembalikan marwah guru sebagai sosok yang netral, profesional, dan berdedikasi tinggi pada tugasnya.
GURU ASN DAN JERAT POLITIK KEKUASAAN
Peraturan perundang-undangan di Indonesia secara eksplisit mengatur tentang netralitas ASN, termasuk guru, dalam politik. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara tegas melarang ASN terlibat dalam politik praktis. Hal ini dimaksudkan agar ASN dapat menjalankan tugasnya secara profesional, adil, dan tidak memihak, demi kepentingan umum. Namun, realitas di lapangan seringkali berbeda. Banyak kasus menunjukkan bagaimana guru ASN "terpaksa" atau "secara sukarela" terlibat dalam kampanye politik, pengerahan massa, atau bahkan menjadi tim sukses bagi calon kepala daerah atau legislator.
Motivasi utama di balik keterlibatan ini bervariasi, namun salah satu yang paling dominan adalah ketakutan akan kehilangan jabatan, mutasi ke daerah terpencil, atau kesulitan dalam kenaikan pangkat jika tidak menunjukkan loyalitas politik kepada penguasa. Di sisi lain, ada pula guru yang melihat keterlibatan politik sebagai "jalan pintas" untuk mendapatkan posisi-posisi strategis di lingkungan dinas pendidikan atau bahkan di luar struktur pendidikan. Jabatan kepala sekolah, pengawas sekolah, atau posisi struktural lainnya seringkali menjadi daya tarik yang mendorong guru untuk merapat ke kubu politik tertentu. Tekanan dari atasan, yang juga terkadang memiliki afiliasi politik, semakin memperparah situasi ini.
Guru, dengan posisinya yang strategis di tengah masyarakat, seringkali dijadikan target empuk oleh para politisi. Jaringan guru yang luas, kemampuan mereka dalam berkomunikasi, dan pengaruh mereka di lingkungan sekolah dan masyarakat dianggap sebagai modal politik yang signifikan. Akibatnya, proses rekrutmen politik terhadap guru dapat terjadi melalui berbagai cara, mulai dari himbauan halus, janji-janji manis, hingga ancaman terselubung. Lingkungan birokrasi pendidikan yang sarat dengan nepotisme dan patronase semakin membuka celah bagi praktik-praktik semacam ini.
Keterlibatan guru dalam politik praktis ini pada akhirnya menciptakan budaya ketidakpercayaan. Masyarakat, orang tua murid, dan bahkan siswa dapat merasakan adanya bias atau keberpihakan politik dalam lingkungan sekolah. Kurikulum yang seharusnya netral dan objektif bisa saja disusupi oleh propaganda politik, atau guru secara tidak langsung memengaruhi pandangan politik siswa. Ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar pendidikan yang seharusnya membentuk warga negara yang kritis dan mandiri, bukan pengikut buta dari suatu ideologi atau partai politik.
DAMPAK NEGATIF KETERLIBATAN POLITIK GURU TERHADAP PENDIDIKAN DAN DEMOKRASI
Keterlibatan guru dalam politik kekuasaan membawa serangkaian dampak negatif yang serius, baik bagi kualitas pendidikan maupun bagi tatanan demokrasi di Indonesia:
- Menurunnya Kualitas Pembelajaran: Ketika guru disibukkan dengan urusan politik, fokus utama mereka pada tugas mendidik dan mengajar akan terdistraksi. Waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan untuk mempersiapkan materi, mengevaluasi siswa, atau meningkatkan kompetensi profesional, justru terbuang untuk kegiatan politik. Materi pelajaran dapat disusupi agenda politik, membatasi ruang diskusi kritis, dan menghambat pengembangan pemikiran independen siswa.
- Hilangnya Netralitas dan Objektivitas Pendidikan: Sekolah seharusnya menjadi ruang yang aman dan netral bagi siswa untuk belajar dan berkembang tanpa tekanan politik. Keterlibatan guru dalam politik menghancurkan netralitas ini. Siswa, yang sangat rentan terhadap pengaruh guru, dapat terpapar pandangan politik yang bias, yang pada gilirannya dapat memecah belah komunitas sekolah dan menanamkan bibit intoleransi.
- Tercederainya Profesionalisme Guru: Etika profesi guru menuntut independensi dan objektivitas. Ketika guru menjadi alat politik, profesionalisme mereka tercoreng. Guru yang seharusnya menjadi teladan integritas dan kejujuran, justru terlibat dalam praktik-praktik yang mengikis nilai-nilai tersebut. Ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap profesi guru secara keseluruhan.
- Kesenjangan dalam Pelayanan Pendidikan: Keterlibatan politik dapat menyebabkan diskriminasi dalam pelayanan pendidikan. Guru atau sekolah yang berafiliasi dengan pihak penguasa mungkin mendapatkan fasilitas lebih baik atau perlakuan istimewa, sementara yang tidak berafiliasi bisa saja dianaktirikan. Hal ini melanggar prinsip keadilan dan kesetaraan dalam pendidikan.
- Ancaman Terhadap Demokrasi: Pendidikan adalah pilar penting dalam membangun demokrasi yang sehat. Pendidikan yang berintegritas dan netral akan melahirkan warga negara yang cerdas, kritis, dan mampu membuat pilihan politik secara rasional. Sebaliknya, pendidikan yang dipolitisasi akan menghasilkan warga negara yang mudah dimanipulasi dan cenderung mengikuti arus kekuasaan, yang pada akhirnya melemahkan fondasi demokrasi.
- Pengaruh Buruk Terhadap Generasi Muda: Siswa melihat guru sebagai panutan. Ketika mereka menyaksikan guru-guru mereka terlibat dalam intrik politik, nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah—seperti kejujuran, integritas, dan keadilan—dapat terasa hipokrit. Ini bisa menumbuhkan sinisme dan apatisme politik di kalangan generasi muda, atau sebaliknya, mendorong mereka untuk meniru perilaku politik yang tidak etis.
Singkatnya, ketika guru terjebak dalam pusaran politik kekuasaan, bukan hanya profesi mereka yang terdegradasi, tetapi juga masa depan pendidikan dan kualitas demokrasi bangsa menjadi taruhannya.
URGENSI PENGUATAN NETRALITAS GURU
Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan, penguatan netralitas guru adalah sebuah keniscayaan. Upaya ini harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan berbagai pihak, dan mencakup aspek regulasi, pengawasan, hingga pembinaan profesionalisme.
Pertama, penegakan hukum dan peraturan yang lebih tegas terhadap ASN yang terlibat dalam politik praktis harus menjadi prioritas. Sanksi yang jelas dan konsisten, tanpa pandang bulu, perlu diterapkan untuk memberikan efek jera. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus memiliki wewenang yang kuat dan independen untuk menindak pelanggaran ini.
Kedua, pemerintah perlu menciptakan sistem karier guru yang transparan dan berbasis meritokrasi, bebas dari intervensi politik. Promosi jabatan, mutasi, dan kenaikan pangkat harus didasarkan pada kinerja profesional, kompetensi, dan dedikasi, bukan pada kedekatan atau afiliasi politik. Hal ini akan mengurangi insentif bagi guru untuk mencari "perlindungan" politik.
Ketiga, pendidikan dan sosialisasi mengenai etika profesi guru dan pentingnya netralitas harus terus-menerus digalakkan. Lembaga pendidikan guru, organisasi profesi guru (seperti PGRI), dan dinas pendidikan perlu secara aktif memberikan pemahaman mendalam tentang konsekuensi keterlibatan politik dan pentingnya menjaga integritas profesi.
Keempat, penguatan peran organisasi profesi guru sangat penting. Organisasi ini harus menjadi benteng moral bagi anggotanya, melindungi guru dari tekanan politik, dan memberikan advokasi hukum bagi guru yang menjadi korban tekanan atau intimidasi politik. Organisasi profesi harus berperan aktif dalam mengawasi praktik-praktik politik di lingkungan pendidikan.
Kelima, partisipasi aktif masyarakat dan orang tua dalam mengawasi lingkungan sekolah juga krusial. Adanya saluran pengaduan yang mudah diakses dan responsif, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang netral, akan menjadi kontrol sosial yang efektif.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan guru dapat kembali fokus pada tugas utamanya sebagai pendidik, bebas dari bayang-bayang kepentingan politik, dan menjadi agen perubahan yang sesungguhnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
KESIMPULAN
Profesi guru adalah salah satu pilar utama pembangunan bangsa, dengan tugas mulia mencerdaskan dan membentuk karakter generasi penerus. Netralitas, profesionalisme, dan integritas adalah landasan utama bagi guru untuk dapat menjalankan tugas tersebut secara optimal. Namun, fenomena keterlibatan guru, khususnya ASN, dalam politik praktis demi menjaga kedudukan atau meraih jabatan, telah menjadi ancaman serius terhadap independensi pendidikan dan objektivitas proses pembelajaran.
Keterlibatan politik guru tidak hanya merusak citra profesi, tetapi juga menurunkan kualitas pendidikan, menghilangkan netralitas sekolah, dan pada akhirnya melemahkan fondasi demokrasi. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak menyadari urgensi untuk mengembalikan marwah guru sebagai sosok yang bebas dari intervensi politik. Penegakan regulasi yang tegas, pembangunan sistem karier yang transparan, pendidikan etika profesi yang berkelanjutan, penguatan peran organisasi guru, serta partisipasi aktif masyarakat, adalah langkah-langkah krusial yang harus segera diimplementasikan. Dengan demikian, guru dapat sepenuhnya berfokus pada tugas mulianya, menciptakan generasi yang cerdas, kritis, dan berintegritas, yang menjadi harapan bagi masa depan bangsa.