
Oleh : Muhammad Ashari Panahatan
Sebuah pernyataan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, baru-baru ini telah menggoreskan luka di hati para pendidik di seluruh nusantara. Dalam sebuah forum, terlontar pernyataan yang menempatkan guru seolah sebagai "beban negara" karena porsi anggaran yang besar untuk gaji dan tunjangan mereka. Terlepas dari konteks fiskal dan angka-angka dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), frasa "beban negara" terasa seperti sebuah tamparan keras bagi profesi yang menjadi tulang punggung peradaban bangsa.
Di tengah riuh rendah kekecewaan dan kemarahan para guru di media sosial dan ruang-ruang diskusi informal, sebuah keheningan yang memekakkan justru datang dari organisasi yang seharusnya menjadi garda terdepan pembela mereka: Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ke mana suara lantang PGRI yang kita kenal? Di mana pembelaan sengit terhadap martabat para anggotanya yang setiap bulan membayar iuran dengan harapan memiliki perisai pelindung?
Pertanyaan "PGRI, di mana keberadaanmu?" kini menggema lebih kencang daripada pernyataan sang menteri itu sendiri.
Lemahnya Respon, Lunturnya Kepercayaan
Kekecewaan para guru bukanlah tanpa alasan. PGRI, sebagai organisasi profesi guru terbesar dan tertua di Indonesia, diharapkan menjadi penyambung lidah, pembela, dan negosiator ulung saat harkat dan martabat anggotanya dipertanyakan. Pernyataan seorang menteri yang memiliki dampak psikologis besar terhadap jutaan guru seharusnya direspons dengan cepat, tegas, dan strategis.
Bukan sekadar klarifikasi normatif yang ditunggu, melainkan sebuah pernyataan sikap yang menunjukkan bahwa PGRI berdiri tegak bersama para guru. Sebuah argumen tandingan yang mengingatkan pemerintah dan publik bahwa anggaran untuk guru bukanlah "beban," melainkan investasi strategis untuk masa depan bangsa. Angka-angka dalam APBN itu bukanlah sekadar biaya, melainkan harga dari sebuah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan oleh konstitusi.
Namun, yang terasa di lapangan adalah respons yang lambat dan terkesan normatif. Tidak ada gebrakan yang mampu menenangkan hati para guru yang merasa profesinya direndahkan. Keheningan ini menciptakan sebuah kekosongan, yang dengan cepat diisi oleh rasa frustrasi dan pertanyaan kritis terhadap relevansi PGRI itu sendiri. Untuk apa iuran dibayarkan jika pada saat paling genting, organisasi ini seolah tak berdaya?
Bukan Sekadar Beban, Tapi Investasi Peradaban
Mari kita bedah lebih dalam. Menyebut guru sebagai beban adalah sebuah kesesatan logika yang fatal.
- Guru adalah Investasi, Bukan Biaya: Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk kesejahteraan guru adalah investasi pada kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Guru yang sejahtera, fokus, dan dihargai akan menghasilkan generasi penerus yang cerdas, kreatif, dan kompetitif.
- Amanat Konstitusi: Anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, yang sebagian besarnya dialokasikan untuk guru, adalah perintah langsung dari Undang-Undang Dasar 1945. Ini bukan kemewahan, melainkan kewajiban negara yang harus dipenuhi.
- Motor Penggerak Ekonomi: Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan tenaga kerja yang terampil dan inovatif, yang pada akhirnya akan menggerakkan roda perekonomian dan meningkatkan pendapatan negara.
Logika sederhana ini seharusnya menjadi amunisi utama bagi PGRI untuk melakukan pembelaan. PGRI semestinya mampu mengedukasi para pengambil kebijakan dan publik bahwa memandang guru dari kacamata "beban anggaran" adalah cara pandang yang dangkal dan berbahaya bagi masa depan Indonesia.
Panggilan untuk Refleksi
Insiden ini harus menjadi momentum bagi PGRI untuk melakukan introspeksi mendalam. Apakah organisasi ini sudah terlalu nyaman dalam zona birokrasi sehingga kehilangan taring perjuangannya? Apakah kedekatan dengan kekuasaan justru membuatnya tumpul dalam menyuarakan aspirasi murni dari akar rumput?
Para guru tidak meminta banyak. Mereka hanya meminta organisasinya hadir saat mereka terluka. Mereka butuh suara yang mewakili perasaan mereka, yang mampu beradu argumen dengan data dan martabat di hadapan penguasa.
Jika PGRI terus-menerus absen dalam momen-momen krusial seperti ini, jangan salahkan para anggotanya jika mereka mulai bertanya, "Untuk apa PGRI masih ada?" Para pahlawan tanpa tanda jasa ini menanti, bukan hanya klarifikasi, tetapi sebuah pembelaan yang tulus dan tindakan nyata. Jangan sampai mereka merasa berjuang sendirian di garda terdepan pendidikan bangsa.